Sinar Jaya Electone Telah “Subversif”

Ada banyak kisah yang bercerita tentang perjalanan. Namun yang paling popular tentu saja perjalanan ke barat. Nun jauh di daratan tiongkok, terdapat kisah legendaris seorang biksu yang bernama Tong Sam Chong ( Kalo gak salah tulis ), bersama tiga muridnya yang bermuka aneh. Berempat mereka menempuh perjalanan panjang dan mengalami berbagai macam bahaya. Kesemuanya itu dilakukan dalam rangka perjalanan suci menuju barat untuk mengambil kitab suci. Cerita itu di Indonesia menjadi serial panjang di televisi dan kita lebih familiar dengan sebutan kera sakti yang nama aslinya adalah Sun Go Kong. Bagi umat Islam Indonesia, terutama Jawa. Perjalanan ke barat menjadi perjalanan suci untuk menunaikan rukun islam yang terakhir. Sebagian orang jawa menyebutkannya dengan istilah Ngulon yang berarti menuju ke barat, untuk menyebut orang pergi haji. Daftar perjalanan ke barat itu semakin bertambah jika kita sesuaikan konsepsi kita tentang barat sebagai sebuah term tentang universalitas, yang menawarkan oposisi biner antara “kita”(barat) dan “mereka” (timur). Disitu kita akan berjumpa dengan realitas bahwa barat telah menjadi sebuah destinasi perjalanan dari barbarisme menuju keberadaban yang mereka tawarkan dalam modernitas, yang mereka kira itu menjadi tanggung jawabnya.

Dengan segenap kisah mengenai superioritas perjalanan menuju barat yang dipenuhi dengan semangat spiritualitas sekaligus janji-janji modernitas yang ditawarkan oleh yang lain, maka perjalanan menuju timur adalah sebuah subversif. Karena dalam kuasa barat-timur, Timur adalah sebuah anomali yang terjadi karena penyimpangan atas keteraturan. Dan Sinar Jaya Electone dalam penampilannya dalam rangkaian acara HUT UKTK Unair yang ke 29 beberapa malam yang lalu berusaha untuk melakukan subversif terhadap barat. Sebuah komposisi dirangkai untuk menunjukkan kepentingan subversif itu. Membawakan sebuah komposisi dengan judul “perjalanan cinta menuju timur” Sinar Jaya tidak hendak menampilkan cinta yang mengharu biru dan menguras air mata, namun menyuguhkan kisah perjalanan yang sejak awal menyatakan dirinya sebagai sebuah anomali.

“Perjalanan cinta menuju timur” oleh sang komposer utama Drs. Takun Musdha, mengambil materi komposisi dari Semarang sebagai awal kemudian terus bergerak kearah timur menuju Banyuwangi hingga akhirnya menyeberang ke pulau Bali. Dari itu semua Tanjung Mas, Ulan Andung-Andung dan Jayaprana berhasil didapatkan. Ketiganya kemudian tiba-tiba saja diaduk dengan disco dan bossanova dengan bantuan lengkingan biola dan tiupan seruling. Tidak berhenti sampai disitu, gemerincing kluncing dan petikan gitar akustik dengan tuntunan tempo dari jimbe yang diperhalus dengan gambang kemudian disuguhkan menjadi satu komposisi.

Tentunya pengolahan komposisi itu tidak berkaitan dengan proyek penyusunan narasi utama atau dalam bahasa Lyotard narasi agung, alih-alih sebagai kritik terhadap mereka yang telah Establish itu. “Perjalanan cinta menuju timur” sebagaimana karya Sinar Jaya yang lain sekali lagi hanya sebatas subversif yang bersandar pada representasi diri yang periferi dihadapan mereka yang universal. Namun untuk bertindak lebih dari itu bagaimanapun juga Sinar Jaya, mengutip istilah yang sering diucapkan seorang kawan, adalah produk massal. Meskipun potensi anomalinya telah tampak namun tidak mampu dan tidak bisa untuk melepaskan diri dari keterikatan dengan lainnya yang membentuk sebuah semangat jaman.

Pilihan untuk berperilaku subversif dalam karyanya kali ini bukan tanpa alasan, bagi Sinar Jaya itu dilakukan agar tidak terjebak dalam memposisikan dirinya sebagai sebuah kekuatan baru di luar yang mapan yang menyiapkan diri untuk menggulingkannya, walaupun perangkap yang menggoda untuk itu telah tersaji sepanjang proses pengkaryaan, namun identifikasi yang tepat dengan ditunjang pengalaman berkesenian dapat menghindarkan itu semua, yang bagi Sinar Jaya geliat untuk meruntuhkan kemapanan adalah semata demi kemapanan itu sendiri.

Pengalaman berkesenian yang menjadi basis estetika dalam penciptaan sebuah karya termasuk dalam karya-karya Sinar Jaya, tercipta karena, mengutip Dewey, keadaan saling mempengaruhi antara organisme dan lingkungannnya yang memunculkan akibat, tanda, serta imbalan. Sebuah pengalaman tidak bisa dipisahkan dari lingkungan tempat individu berada, karena tidak mungkin ada pengalaman yang terpisah dari suatu keadaan lingkungan tertentu. Pendapat Dewey ini agaknya mendapat pengaruh dari Aristoteles yang mengatakan bahwa estetika integral dan terkait dengan alam. Hal-hal yang dialami melalui indra sebagai indah maupun keindahan – keduanya oleh Plato dibedakan – keduanya padu dan dapat dialami oleh akal sehat. Dengan mengacu pada kerangka berpikir seperti itu pilihan untuk subversif bagi Sinar Jaya adalah pilihan yang paling tepat karena kebutuhan akan basis estetika yang kokoh untuk itu telah terpenuhi dari pengalaman berkeseniannya selama ini.

Jika mantra adalah pelepasan kekuatan melalui kata, maka bermusik adalah melepaskan kekuatan melalui nada. Sebenarnya itu yang lebih tepat untuk menyimpulkan apa yang selama ini menjadi gairah Sinar Jaya. Sebuah gairah yang selanjutnya menjadi spiritualitas Sinar Jaya dan terus mencoba untuk mengamalkannya dalam setiap karyanya. Gairah itu adalah hasil dari penghayatannya akan pengalaman berkesenian yang didapat melalui berbagai wadah berkesenian terutama di UKTK Unair sendiri dimana semua anggota Sinar Jaya pernah, dan sebagian masih tercatat sebagai anggotanya. Gairah untuk melepaskan kekuatan melalui nada itu kemudian menjelma menjadi keberanian untuk berlaku subversif dengan mengeksplorasi berbagai variasi materi pembentuk komposisi, hasilnya adalah “perjalanan cinta menuju timur”.