Selasa, 09 November 2010

Mengembalikan kesaktian pancasila

Pada tanggal 1 Oktober setiap tahunnya Indonesia memperingati hari kesaktian pancasila. Ketika Soeharto masih berkuasa hari kesaktian pancasila diperingati dengan meriah sekaligus penuh takzim. Upacara peringatan dipusatkan di monumen pancasila sakti yang diresmikan pada tahun 1969 di Lubang Buaya, Jakarta Pusat. Soeharto sendiri yang memimpin upacaranya di ikuti oleh para pejabat teras orde baru yang kemudian dengan penuh takzim pula mengikuti janji setia yang diucapapkan oleh Soeharto kepada pancasila.
Hari peringatan ini di mulai sejak tahun 1966 selang satu tahun pasca penculikan dan pembunuhan beberapa Jenderal AD yang dituduhkan sebagai bagian dari rencana kudeta yang didalangi oleh PKI pada tahun 1965. Oleh rezim orde baru, penetapan hari kesaktian pancasila sebagai hari besar resmi Negara salah satunya dimaksudkan sebagai peringatan atas gagalnya percobaan kudeta yang dituduhkan kepada PKI tersebut. Sebuah tuduhan yang sangat serius mengingat rentetan kejadian yang kemudian timbul dan menjadi prahara bagi bangsa Indonesia dengan korban jiwa yang tidak sedikit, presiden Soekarno sendiri pada tahun 1966 menyebutkan angka 87.000 sedangkan beberapa media asing seperti New York Times bahkan memperkirakan 300.000 jiwa menjadi korban.
Pasca tumbangnya rezim orde baru, peringatan kesaktian pancasila tidak lagi di peringati dengan meriah bahkan sebagian dari kita melupakan hari penting orde itu. Turunnya Soeharto oleh gelombang demonstrasi yang meneriakkan perubahan system politik dan pemerataan kesejahteraan ternyata membawa serta pula wabah phobia Soeharto dan Orde Baru. Dengan phobia itu masyarakat menjadi enggan untuk bersentuhan dengan hal-hal yang menjadi ikon orde baru. Pemerintahan baru yang terbentuk kemudian dengan proses yang lebih demokratis dan lebih mampu untuk menjawab keraguan akan legitimasi pun mati-matian mempertahankan diri pada posisi anti orde baru yang di tampilkannya dengan tidak melestarikan warisan-warisan orde baru, lepas apakah warisan itu bermanfaat bagi negara atau tidak. Dengan kenyataan itu, kesaktian pancasila sebagai salah satu proyek “ideologisasi” orde baru dan menjadi salah satu landasan moral terbentuknya orde baru tidak mampu lagi untuk mempertahankan diri dari serangan wabah phobia itu. Kini kesaktian pancasila berada pada titik yang paling rendah, justru ketika kesaktiannya berada pada titik yang paling diharapkan.
Globalisasi yang ditandai perpindahan arus modal dan informasi dengan begitu cepat dan tidak lagi terikat oleh batas-batas kewilayahan mengisyaratkan tunduknya otoritas Negara dihadapan pemilik modal multinasional yang terus menyerukan fundamentalisme pasar. Fungsi Negara sebagai penjamin kesejahteraan rakyat di situasi ini tidak dapat berjalan dengan baik karena kompromi harus selalu dibuat antara kepentingan rakyat dan kepentingan pemodal. Disatu sisi identitas sebagai bangsa mendapat ancaman yang sangat serius. Luruhnya batas Negara oleh globalisasi yang diikuti dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat membuat sibuk arus lalu lintas informasi, termasuk didalamnya liberalisasi pemikiran yang disaat bersamaan memunculkan keraguan akan identitas bangsa.
Globalisasi dengan segala semangat modernitas yang diusungnya ternyata menyisakan tempat tradisional bagi pemikiran akan identitas. Samuel P. Huntington mengatakan bahwa orang-orang saling mengidentikkan diri melalui asal-usul, agama, bahasa, sejarah, nilai-nilai, adat dan institusi. Mereka mengidentifikasikan diri melalui kelompok-kelompok etnis, komunitas-komunitas keagamaan, kebangsaan dan pada wilayah yang paling luas, peradaban-peradaban.
Ketika kini Indonesia mengalami masalah yang di timbulkan oleh terorisme, pertikaian etnis, separatisme, persoalan kesukuan, dan lainnya yang berakar pada primordialisme, identitas adalah hal yang dapat diajukan menjadi alternatif jawaban bagi pertanyaan mengapa hal itu bisa terjadi dan Pancasila ternyata selama ini tidak mampu untuk menjadi identifikasi kepribadian rakyat Indonesia sehingga rakyat lebih nyaman ketika menyematkan identitas-identitas yang berakar pada agama, suku, dan kategori etnis lainnya. Kesaktian pancasila yang seharusnya digunakan untuk menjawab pertanyaan mengenai identitas bangsa selama masa kepopulerannya pada masa orde baru disalahgunakan kesaktiannya hanya untuk merepresi potensi-potensi ancaman rezim berkuasa, celakanya kemudian ketika rezim orde baru telah tumbang kesaktian pancasila berada pada titik yang rendah, diserang oleh wabah phobia.
Dalam historiografi Indonesia tradisional kita akan menemukan banyak peristiwa yang tidak terjelaskan oleh rasio manusia modern, sebagian dari kita mengatakan bahwa hal itu di sebut dengan sakti. Manusia keturunan dewa, peristiwa yang mampu mengikat secara magis pelaku-pelakunya, manusia yang mampu untuk memindahkan gunung, makhluk-makhluk dengan kekuatan luar biasa yang tidak di ketahui jenisnya. Semua itu dapat mungkin terjadi di dalam historiografi tradisional Indonesia yang beragam jenisnya mulai dari babad, hikayat, tambo, dll. Kejadian tersebut dapat mungkin terjadi karena historiografi tradisional tidak menarik garis batas yang tegas antara yang fiksi dan fakta. Dalam historiografi tradisional aktualitas peristiwa bukanlah maksud utama yang hendak dicapai, kebenaran tidak di hadirkan secara telanjang dan kepadanya disematkan busana-busana nilai yang hendak disampaikan oleh si penulis sejarah walaupun hal tersebut merusak susunan kronologis dan mengaburkan fakta-fakta peristiwa.
Sebagian besar Historiografi tradisional Indonesia di susun dengan perhatian yang besar kepada hal-hal yang mengandung kesaktian. Untuk memahami nilai aktualitas historiografi tradisional, konsep mengenai kesaktian harus kita pahami. C.C.Berg seorang filolog Belanda yang telah banyak menelaah naskah-naskah kuno nusantara mengungkapkan bahwa untuk memahami kesaktian dalam konteks historiografi tradisional Indonesia khususnya di jawa yang di katakannya di penuhi dengan fantasi dan spekulasi, ada tiga hal yang perlu di catat. Pertama kekuatan sakti ini adalah sebuah kekuatan yang diliputi rahasia yang melekat sebagai sifat khas yang dimiliki apa-apa yang memiliki khasiat yang kuat seperti meriam, tanda-tanda martabat kerajaan, raja-raja dan makhluk halus. Kekuatan ini dapat di tambahi dan dapat pula dikurangi serta dapat dipindahkan dari pemilik yang satu ke yang lainnya. Untuk menggunakannya di perlukan pengetahuan dan pemeliharaan dari seseorang yang ahli walaupun terkadang dapat pula bekerja secara otomatis pada beberapa kasus. Kedua “ Complex Denken “ ( pemikiran kompleks ), segala sesuatu yang ada, makhluk hidup, benda mati, pengertian yang dibentuk oleh konsepsi manusia maupun sifat-sifat yang melekat pada suatu materi. Semuanya berhubungan antara satu dengan lainnya dan membentuk satu kesatuan organis yang dahsyat dimana salah satunya bisa untuk menggantikan yang lain. Dalam upacara keagamaan hal tersebut jelas terlihat, makanan yang dipesembahkan kepada dewa sebagian di makan oleh peserta upacara agar kesaktian dari dewa merasuk dalam tubuhnya dengan mediasi makanan kurban. Ketiga membicarakan sakti tidak lepas dari magi, yang terdapat dalam berbagai bentuk mulai dari yang sederhana sampai pada yang sangat mustahil. Seseorang yang membuka semua pintu rumahnya, peti, dan lemarinya agar proses melahirkan anaknya lancar adalah contoh perbuatan magis yang sederhana. Namun jika tujuan yang ingin dicapai lebih besar dan keberhasilan maupun kegagalannya membawa dampak yang serius di masyarakat maka diperlukan keterlibatan seseorang yang ahli dalam bidang tersebut. Contohnya adalah sebuah kisah dalam Negarakertagama yang menceritakan mengenai pembagian kerajaan Airlangga yang diserahkan pada seorang empu bernama Bharada, dengan kesaktiannya mpu Bharada menuangkan air suci untuk menarik garis batas antara Jenggala dan Kediri dengan terbang diantara kedua wilayah kerajaan itu.
Sebagai sebuah kesaktian, pancasila bisa kehilangan kesaktiannya. Karena sebuah kesaktian tidak bersifat absolute dan statis, dia dinamis dan berdialektika dengan jamannya sebagaimana energi yang tidak dapat dihancurkan namun berganti wujud sesudah mengalami reaksi, demikian pula dengan kesaktian pancasila. Untuk mengembalikan kesaktiannya, sumber-sumber kesaktian pancasila harus kembali digali.
Dalam beberapa historiografi tradisional kita akan menemukan jawaban bahwa untuk menghasilkan kesaktian yang dasyat dan berusia panjang, siksa diri selalu menjadi jawaban untuk itu. Kesaktian yang berupa pemberian, tanpa siksa diri sebelumnya selalu tidak dapat berusia lama. Siksa diri yang dimaksud tidaklah sama dengan model siksa diri pengikut opus dei dalam novel Dan Brown yang dengan sengaja menyakiti tubuhnya sendiri. Kisah Erlangga sebelum menjadi raja bisa menjadi inspirasi bagaimana dia melakukan siksa diri.
Pada usia sekitar 15 tahun Erlangga berangkat dari Bali ke Jawa. Keberangkatannya untuk melaksanakan pernikahan dengan seorang putri dari kerajaan Jawa, namun kedatangannya ke keraton raja Jawa itu rupanya bertepatan dengan serbuan seorang raja dari barat. Akibat serbuan itu, Raja dan pembesar kerajaan lainnya terbunuh, sedangkan Erlangga sendiri dapat menyelamatkan diri di sebuah pertapaan dimana selama 12 tahun hidupnya kemudian dihabiskan disitu dengan menjadi seorang petapa. Selama masa pertapaan dia tinggalkan kesenangan duniawi dengan sukarela. Arjunawiwaha melukiskan peristiwa itu dengan bait.
Dia, yang harus dikatakan dalam ke arif-bijaksanaanya mencapai taraf yang tinggi, telah meninggalkan kehidupan dimana orang secara terbaik dapat menyadari akan hampanya segala sesuatu yang ada. Akan tetapi tidaklah dia berbuat demikian karena didorong kecenderungannya kepada duniawi. Sebaliknya dengan tangan terbuka ia melimpahkan karunianya kepada rakyat. Tujuannya adalah supaya jasanya dan keberaniannya dapat memancarkan pengaruh yang bermanfaat, ia berusaha untuk kesejahteraan dunia”.
Siksa diri yang dilakukan oleh Erlangga dengan menjadi pertapa selama 12 tahun dan tidak sedikitpun menyentuh kenikmatan duniawi menghasilkan kekuatan sakti yang kemudian dipergunakannya untuk kesejahteraan kerajaannya karena baginya kesaktian seorang pemimpin hanya menjadi beban ketika tidak mampu untuk mensejahterakan dan melindungi rakyat.
Apakah kemudian untuk mengembalikan kesaktian pancasila pemimpin Negara ini sekarang harus menjadi petapa, tentu saja tidak. Namun siksa diri harus dilakukan, semangat dan kesadaran untuk hidup prihatin di tengah rakyat sekaligus mentabukan ritus kesenangan modern yang di sajikan oleh budaya konsumtif yang memunculkan perilaku koruptif harus dilakukan untuk mengembalikan kesaktian pancasila. Namun siksa diri saja tdaklah cukup, menurunnya kadar kesaktian pancasila selama orde baru terjadi karena penggunaannya diserahkan kepada orang yang tidak tepat. Sebagai kesaktian yang dimunculkan dengan harapan hasil yang besar dan meliputi seluruh Negara, keterlibatan seorang ahli sangat penting, dalam kasus pembagian kerajaan Airlangga sosok itu ada pada Mpu Bharada. Mengutip jargon salah satu calon Gubernur dalam kampanye “serahkan pada ahlinya”. Siapa sekarang ahli Pancasila yang pantas untuk menjadi operator kesaktian sekaligus menjadi Mpu Bharada masa kini???.. 

1 komentar: